Malang
memang layak menjadi destinasi favorit wisata, bukan hanya memiliki
theme park yang bagus, namun
Malang juga memiliki pantai-pantai indah.
Deretan pantai cantik itu terletak di Malang selatan yang masuk daerah
administratif Kabupaten Malang. Bukan hanya pantai, teluk dan laguna
yang ada benar-benar indah memesona.
Kehidupan nelayan di tengah laut memang seringkali tidak mudah;
ancaman badai, benturan ombak di lambung kapal kayu, atau angin malam
yang membikin perut kembung adalah makanan sehari-hari. Kemulan angin,
bantalan ombak (berselimut angin, berbantal ombak), begitu kata seorang nelayan di sebuah warung dekat pantai
Sendang Biru. Namun hal itu agaknya menjadi kompromi yang pantas demi hasil tangkapan yang melimpah dan
pemandangan pesisir yang indah saat pulang melaut di pagi hari.
Perkampungan di Pantai Sendang Biru terdiri dari rumah-rumah tersebar
di lahan yang berbukit bukit, berdampingan dengan lahan pertanian dan
rimbun pohon kelapa. Pusat pendidikan, tempat ibadah, juga balai
pertemuan masyarakat pun sudah terstruktur dengan rapi. Akses untuk
menuju Pantai Sendang Biru yang terletak di Desa Sumber Agung, Kecamatan
Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang ini merupakan jalan aspal yang
sudah bagus. Kehidupan nelayan banyak mewarnai riuh rendah Pantai
Sendang Biru di saat pagi. Mulai dari bongkar muat hasil laut hingga
transaksi jual beli ikan segar di Tempat Pelelangan Ikan.
Mencium baunya, nampaknya Pantai Sendang Biru merupakan tempat yang tepat untuk membeli hasil laut segar
dengan
pilihan beragam. Anda bisa memilih ikan tuna, albakor, tongkol,
cakalang, atau cumi-cumi. Di sebelah tempat para pedagang berkumpul,
sebuah dermaga kayu yang sudah miring posisinya dipenuhi kuli panggul
ikan yang hilir mudik mulai subuh hingga menjelang siang. Puluhan kapal
besar penangkap ikan hingga perahu
bercadik kecil yang sudah menaruh hasil lautnya pun diparkir rapi di sepanjang bibir pantai.
Belakangan,
keriuhan Pantai Sendang Biru juga diramaikan hadirnya banyak wisatawan
domestik maupun mancanegara yang menjadikan Pantai Sendang Biru sebagai
tempat transit untuk menuju ke Pulau Sempu.
Riuh rendah nelayan Sendang Biru mulai tak terlihat saat perahu yang
kami tumpangi mulai merapat di Teluk Semut. Inilah titik awal jalur
menuju Laguna Segara Anakan yang berada di ujung selatan Pulau Sempu.
Dari Teluk Semut yang berada di bagian utara pulau seluas 877 hektar
ini, perjalanan dilanjutkan melalui jalur trekking sekira 1,5 jam. Perlu
ekstra waspada karena jalur trekking banyak akar-akar pohon yang keluar
dari tanah.
Nama Pulau Sempu diambil dari sejenis tanaman obat yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit perut,
panas dan batuk. Namun di pulau yang memiliki empat ekosistem, yaitu ekosistem hutan pantai, ekosistem
danau,
hutan mangrove dan hutan tropis itu malah tak terdapat pohon sempu.
Ungkapan William Shakespeare yang mengatakan apalah arti sebuah nama
ternyata ada benarnya, diberi nama apapun Pulau Sempu tetaplah ayu.
Berkali-kali terucap kagum tatkala dari balik rerimbunan pohon
tersembul pemandangan memesona, pertanda Segara Anakan kian dekat. Tak
lama kemudian, terpampang jelas hamparan pantai berpasir putih bertemu
dengan birunya air yang tenang. Pada sebuah bebatuan karang, terlihat
air laut Samudera Hindia menerobos masuk ke areal laguna. Orang biasa
menyebut karang bolong, inilah yang menjadi pintu masuk air laut ke
‘danau
kayangan’.
Konon, sekitar periode 1950, datanglah seorang biksu yang bertapa di
dalam sebuah gua yang berada di pesisir pantai. Seorang pertapa yang
dipercaya berasal dari Cina itu kemudian meninggal tanpa ada yang
mengetahui keberadaannya hingga seorang pencari rotan menemukan tulang
belulang yang berserakan di dalam gua. Kisah pertapa cina pun diikuti
kisah versi lainnya yang mencoba menjelaskan asal mula nama Pantai Gua
Cina. Kisah yang berawal dari cerita warga setempat, kemudian menyebar
dari mulut ke mulut para pengunjung seringkali menjadi daya tarik
tersendiri, selain suguhan pantai yang terbentang sepanjang 3 km.
Pasir putih tidak begitu mendominasi pemandangan Pantai Gua Cina,
namun agaknya hal itu terbayar dengan anggunnya bebatuan besar yang
tersebar di sekitar bibir pantai. Jika pagi tiba atau saat senja, warna
bebatuan seperti berubah menjadi jingga dan pepohonan yang tumbuh
diatasnya terlihat lebih hijau. Saat air laut surut, nampak jelas
berbagai biota laut yang terjebak di antara lubang-lubang karang. Sangat
bijak kiranya jika kita
hanya mengambil gambarnya tanpa membawanya pulang.
Jangan ragu jika ingin singgah lebih lama atau mendirikan perkemahan di pantai yang terletak di Desa Sitiharjo,
Kecamatan Sumbermanjing Wetan ini. Karena banyak tanah lapang berpohon rindang di seberang bibir pantai
yang
bisa dimanfaatkan sebagai area mendirikan tenda. Di antara rimbunnya
pohon pantai yang berada pada sebuah gugusan batuan besar, akan terlihat
sosok gua yang hingga kini masih sering digunakan untuk bertapa.
Lubangnya tidak dalam, diameter gua pun tidak besar, namun kombinasi
suara angin, deburan ombak, dan kisah seorang pertapa membuat atmosfer
menjadi mistis.
Anda tertarik mencobanya?
Kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bajul Mati. Seketika imajinasi
saya perlahan memainkan komposisi The Long and Winding Road, milik The
Beatles, saat melintasi jalan aspal yang sepi menuju Pantai Bajul Mati
siang itu. Jika Paul Mc Cartney sang pencipta lagu terinspirasi B842,
sebuah jalanan sepi sepanjang 50 km di Skotlandia, berbeda dengan saya.
Jalanan sepi sepanjang 9 km di pesisir Pantai Bajul Mati yang diselingi
pemandangan pantai biru di sela-sela perbukitan pun memantik inspirasi
untuk menyanyikannya berulang-ulang. Pantai Bajul Mati mempunyai
beberapa pintu masuk. Karena hamparan pantainya termasuk panjang, namun
terpisah oleh beberapa bukit kapur yang tinggi.
Pasir putih yang terhampar diwarnai pecahan kecil karang-karang yang tersapu ombak. Dari kejauhan,
nampak samar dua muda mudi yang sedang bergandengan tangan menyusuri pantai dengan menenteng
alas kaki mereka.
Romantisme tak kenal panas, gumam saya. Namun rasa hangat pasir putih
siang hari itu, begitu saja hilang saat debur ombak menyentuh telapak
kaki. Begitu pun seterusnya, hangat menjadi dingin, dinginpun
menghangat.
Sebelum sampai di Pantai Bajul Mati, perjalanan sempat
terhenti di Jembatan Bajulmati, masyarakat setempat juga sering
menyebutnya sebagai Jembatan Harapan. Dibawahnya mengalir sungai
kehijauan, di samping kiri dan kanannya berkerumun hutan bakau. Di bawah
kerangka beton jembatan, nampak dua orang sedang memancing ikan. Anda
pun tidak boleh melewatkan sesi berfoto ria di samping jembatan
berarsitektur melengkung sepanjang 90 meter ini.
Pantai ini terletak sekitar 58 km dari Kota Malang. Berada di
Dusun Bajulmati, Kecamatan Gedangan. Dusun Bajulmati sendiri merupakan
wilayah paling selatan di Kabupaten Malang. “The long and winding road
that leads to your door...”, kata Mc Cartney.
Di Pantai Kondang Merak, pepohonannya seperti berayunayun, anginnya
pun segar. Setengah melamun, pandangan saya tertuju pada atap
rumah-rumah kecil milik warga yang juga difungsikan sebagai warung dan
kamar mandi umum. Nampak rapi berjejer panel surya seukuran papan catur.
“Sudah setahun panel surya itu dipasang di kampung ini dari bantuan
pemerintah”, kata seorang penjaga warung di Pantai Kondang Merak sambil
menunjuk berlembar-lembar panel surya yang sudah terpasang di
masing-masing rumah.
“Kalau dulu pakai lampu tempel, saat malam kondisinya gelap, sekarang sudah terang”, jelasnya sambil tersenyum kecil.
Di kejauhan, nampak perahu-perahu nelayan disandarkan di bawah
pohon kelapa. Jaring-jaring yang kusut sedang dijemur di atas pasir.
Pantai Kondang Merak yang menawan sedang tidak ramai siang itu. Hanya
pemandangan nelayan usai melaut saja yang mendominasi. Hasil laut
nelayan setempat sebagian dijual ke luar desa, dan sebagian lainnya
dijual kepada pengunjung. Pantai yang terletak di Desa Sumber Bening,
Kecamatan Batur, Kabupaten Malang ini dapat ditempuh selama 2 jam dari
Kota Malang.
Tidak jauh dari kampung nelayan, terdapat sebuah rawa-rawa cukup
lebar yang ditumbuhi lebat hutan bakau. Hanya dipisahkan oleh gundukan
pasir selebar 20 meter, rawa-rawa ini berair tawar tidak seperti pantai
di seberangnya. Nampak beberapa penduduk memasang umpan berupa irisan
ikan tongkol di sebuah perangkap berbentuk persegi
yang terbuat dari jalinan kawat tipis. “Ini untuk menangkap kepiting. Gak perlu lama-lama, cukup dipasang
selama 1 jam saja,” ucapnya sambil bersiap melempar perangkap ke dalam rawa-rawa.
Karena wilayah geografisnya yang sulit, desa nelayan ini miskin listrik hingga tahun 2010. Beruntunglah,
karena setelah tahun itu, ada program bantuan panel surya yang dilancarkan pemerintah. Kini, desa nelayan di
Pantai Kondang Merak tidak lagi terbelakang oleh teknologi dan informasi. Tv berukuran kecil, radio,
bahkan parabola sudah menghiasi beberapa rumah. Memang, keramahan alam jika disandingkan dengan
kearifan manusia pasti berbuah manis. Seperti sebuah manfaat yang didapat dari energi gratis matahari.
Saat sore menjelang, beberapa pengunjung mulai meninggalkan bibir pantai, saya lebih memilih untuk
menggelar tenda dan bermalam.
Jingga sunset nampak jelas walau terhalang bukit, ombaknya hampir
tenang di sela-sela batu karang. Bila dibandingkan dengan pantai lain
yang berada di Malang Selatan, seperti Sendang Biru maupun Bale Kambang,
nama Kondang Merak kurang tersohor. Namun suguhan keelokan alami dan
suasana kearifan penduduk lokalnya tidak sebatas kehebohan wisata, tapi
lebih dari itu,
Pantai lain yang layak dikunjungi adalah Pantai Lenggoksono. Jalanan
menurun ditempuh perlahan. Persneling kendaraan dipindah ke gigi 1.
Kiranya harus waspada karena di samping kiri dan kanan adalah jurang
dalam. Setelah melalui sebuah tikungan tajam, seketika pandangan
dikagetkan oleh hamparan laut biru di di kejauhan
yang menyembul di
antara rimbun pohon cengkeh. Belum terdengar debur ombak, namun bau laut
yang dihembus angin mengisyaratkan kalau pantai tujuan sudah dekat.
Pantai Lenggoksono dapat ditempuh melalui jalur Dampit, kemudian
berbelok ke arah kanan di pertigaan Tangsi. Saat menuju Pantai
Lenggoksono, kita akan melewati perkampungan yang di sekitarnya tertanam
pohon-pohon cengkeh.Kampung sekitar Pantai Lenggoksono yang berada di
Dusun Lenggoksono, Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo memang terkenal
sebagai penghasil cengkeh terbesar se-Malang Raya. Keberadaan pantai ini
memang
berada di balik padat perkampungan. Minim tanda penunjuk arah untuk mencapai bibir pantai. Petunjuk
paling jelas adalah dengan bertanya ke penduduk sekitar. Setelah melalui sebuah kompleks pemakaman desa,
garis pantai dan biru laut mulai terlihat di antara pepohonan.
Selain terkenal dengan potensi ikan laut dan lobsternya, Pantai Lenggoksono juga terkenal dengan air terjun Banyu
Anjlok yang berada di Teluk Kletekan. Namun tidak mudah untuk mencapai lokasi tersebut. Perjalanan ke Banyu
Anjlok membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan diantar perahu nelayan. Jika mencapai air terjun Banyu
Anjlok tidak menjadi pilihan Anda, nampaknya berjalan menyusuri bibir pantai yang didominasi batuan laut
yang cantik ini rasanya cukup sepadan.
Merasakan refleksi pijatan di kaki oleh batuan pantai sambil diguyur dingin air laut nampaknya akan menjadi
suguhan yang lain di gugusan pantai Malang selatan.
Mutiara Terpendam
Beberapa perahu bercadik bergiliran diangkat mendekati laut. Sore
itu, selepas pukul 3, nampak ramai bibir Pantai Sipelot oleh nelayan
yang hilir mudik. Setelah menaikkan perbekalan dan alat penangkap ikan,
tibalah saatnya
seorang nelayan melompat ke dalam perahu dan mengendalikan arah laju dengan dayung kayu. Dua rekannya
mendorong dari belakang.
Pemandangan Pantai Sipelot membikin hati terlena, garis pantai
berpasir putih berpadu dengan ramah sapa penduduk sekitar. Kerumunan
nyiur melambai daun kelapa nampak mengintip di seberang sebuah bukit
kecil yang menjorok ke laut. Untuk mencapai sisi tersebut, harus
memanjat batuan terjal dan berpegangan pada beberapa sisinya karena air
laut sudah mulai pasang. Setelah melewati bukit kecil, pemandangan
rimbun pohon kelapa sudah di depan mata. Kampung para nelayan sudah jauh
di belakang.
Seperti kebanyakan pantai di Malang Selatan, untuk mencapai bibir Pantai Sipelot, jalan yang ditempuh kebanyakan
terdiri
dari hutan dan perbukitan. Lokasi persisnya berada di desa Pujiharjo,
Kecamatan Tirtoyudo, Dampit. Hampir 2,5 jam dari Kota Malang jika
ditempuh dengan kendaraan pribadi. Di sebelah timur perkampungan,
beberapa ternak sedang digembala di atas sebuah lahan yang dikelilingi muara sungai yang melingkar, penduduk
setempat menyebutnya kolam.
Nampak di kejauhan, seorang bapak tua dan perempuan muda berjalan
menyusuri kolam dengan memanggul rumput. “Kehidupan para nelayan seperti
kita ini bergantung pada ramahnya laut. Kalau sedang musim ikan dan
ombaknya bagus, pulangpun membawa hasil yang melimpah. Kalau ombak dan
anginnya sedang galak, bisa-bisa pulang tidak membawa apa-apa”, ucap
seorang warga di depan rumahnya sambil merekahkan senyumnya.
Senja makin tergelincir. Namun masih terlihat seorang Ibu dan anaknya
melepas bapaknya pergi melaut. Walaupun laki-laki itu tidak lagi muda,
semangat melaut nampaknya masih membara di wajahnya. Seperti kata Ernest
Hemingway dalam bukunya The Old Man and The Sea, “You did not kill the
fish only to keep alive and to sell for food, he thought. You killed him
for pride and because you are a fisherman.”
Perahu bercadiknya perlahan mengecil, menjauh dari bibir pantai.
Di Pantai Tamban, diibaratkan seorang bunga desa. Kecantikannya masih belum tersentuh lelaki kota. Wajahnya
masih
tertutup hutan dan perkampungan. “Mungkin akses yang jelek saat menuju
Desa Tamban menjadi penyebabnya, sehingga pantai ini belum diketahui
banyak orang,” celetuk Ibu Ana, di warung rujaknya yang berjarak kurang
lebih 50 meter dari bibir pantai.
Ada benarnya kiranya Ibu Ana itu. Sebelum mencapai bibir pantai,
kendaraan dihadapkan pada jalanan menurun yang terdiri dari aspal
berlubang dan bebatuan. Namun sedikit pengorbanan itu nampaknya menjadi
harga yang pantas, saat pemandangan Pantai Tamban sudah menunggu di
depan mata.
Dibandingkan dengan beberapa pantai yang memiliki jalur tempuh yang sama, yaitu Pantai Gua Cina atau
Bajul Mati, pantai cantik ini terhitung lebih jarang didengar dan dikunjungi orang. Padahal mudah sekali untuk
mengenali
pintu masuk menuju Pantai Tamban. Sebelum menemui persimpangan yang
mengarah ke Pantai Gua Cina atau Bajul Mati, di sisi kiri jalan terdapat
sebuah gapura besar berwarna hijau yang mengarahkan
kita pada perkampungan.
Setelah melewati gapura, sudah banyak tetancap kiri jalan terdapat
sebuah papan petunjuk yang mengarah pada Pantai Tamban. Ada satu hal
unik yang nampaknya hingga kini sedang dibangun oleh warga setempat.
Melalui perpaduan alam pegunungan dan pesisir pantai, serta kekayaan
budaya setempat, konsep desa wisata pun coba ditawarkan. Program
tersebut merupakan hasil dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan
pada tahun 1990